Preloader
  • 082120171321
  • Jl. Kalijati Indah Barat No. 8, Antapani Bandung 40291
  • Senin-Kamis: 10.00-15.00 WIB

Wajah Kekerasan 11 Februari di Tamansari

11 Februari 2021, tiga hari menjelang hari kasih sayang, tiga jahitan melengkung di kepala Deti. Jahitan ada di sana akibat luka pukulan benda tajam saat Deti melakukan tugasnya sebagai paralegal PBHI Jawa Barat di Tamansari, Kota Bandung.

Deti saat itu sedang melakukan tugasnya mendampingi warga Tamansari yang tengah bertahan dan menolak pembangunan rumah deret yang akan dibangun tepat di halaman belakang Masjid Al Islam RW 11 Tamansari.

Kejadian bermula ketika warga Tamansari terdampak rumah deret yang menerima kompensasi akan melakukan kegiatan kerja bakti, tepat di tengah puing puing reruntuhan pemukiman yang tergusur.

Namun kerja bakti itu berubah jadi kekerasan. Pada siang pukul 12.00, warga bersama pekerja kontraktor dari PT Sartonia Agung yang sedang membersihkan puing puing, secara tiba tiba membawa berbagai jenis kayu dan seng-seng berukuran besar dan kemudian melakukan pemagaran secara sepihak: menutup pintu masuk menuju halaman belakang Masjid Al Islam dan puing-puing rumah warga.

Di atas puing-puing yang dihancurkan oleh satpol pp secara sewenang wenang pada 19 Desember 2019 silam, sejak awal warga yang memilih bertahan mendirikan sebuah bangunan seadanya, mereka menamai bangunan tersebut sebagai bale warga. Bale Warga merupakan tempat bagi warga yang bertahan melakukan kegiatan musyawarah. Belakangan tempat tersebut difungsikan pula jadi perpustakaan. Warga menganggap ruang literasi sama pentingnya dengan pemenuhan hak warga untuk hidup damai tanpa perlu takut dari penggusuran.

Selain Bale warga, beberapa warga yang bertahan memanfaatkan reruntuhan menjadi sebuah lahan subur yang di tanami jagung, tomat, seledri dan bawang. Salah satu yang melakukannya adalah Eva Eryani. Tujuannya berkebun itu untuk menegakan kedaulatan pangan dengan cara berkebun selama masa pandemi.

Pandemi telah memperporak porandakan politik pangan kapitalisme yang membuat polarisasi relasi kota sebagai entitas yang menyerap produk pangan dengan desa sebagai produsen bahan pangan yang dibutuhkan oleh kota. Polarisasi yang sama membuat ketergantungan desa kota atas pangan dan pandemi telah menyumbat arus disribusi desa ke kota melalui serangkaian kekeliruan tata kekola penangan covid 19 seperti PSBB yang membatasi arus keluar masuk orang beserta jalur suplai distribusi pangan.

Akibatnya tidak sepele hampir semua penduduk kota dengan pendapatan rendah yang terjebak dalam karantina wilayah terancam kesulitan mengakses makanan. Laporan pemetaan pangan yang dilakukan oleh LBH Bandung menyebutkan bahwa mayoritas populasi kota dengan penghasilan rendah mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan akibat PSBB.[1]

Ditengah kekacauan jalur distribusi pangan, segelintir warga Tamansari berusaha keluar dari polarisasi ketergantungan kota terhadap desa dengan cara menggarap dan menanam bahan makanan mereka sendiri. Metode tanam yang dilakukan mengabungkan metode klasik bermediakan tanah dan metode hidroponik dengan media tanam berupa pipa pipa plastik bekas.

Warga Tamansari hendak menunjukan meski ditengah gempuran penggusuran dan pandemi, mereka ingin berdaya terhadap pangannya sendiri dan meruntuhkan teologi pembangunan yang membuat kota hampir tidak mungkin memproduksi pangannya sendiri.

Namun usaha komunitas yang mandiri terhadap akses pangan harus berhenti tepat tiga hari sebelum hari kasih sayang. Pemagaran secara sewenang-wenang menghancurkan seluruh instalasi tanaman hidroponik, dan lahan garapan hancur akibat pemagaran ilegal berkedok kerja  bakti.

Pengelola instalasi tanam dan tanah garapan, Eva juga mengalami tindak kekerasan, wajahnya dicakar oleh seorang warga yang telah menerima kompensasi.

Ruang literasi pun turut di ratakan dengan tanah oleh warga yang menerima kompensasi dan petugas proyek dari kontraktor PT Sartonia Agung. Tidak hanya itu, pemagaran telah menutup akses warga yang bertahan terhadap akses tanah yang dibutuhkan untuk memproduksi bahan makanan secara mandiri.

Heri dan Gugun dua pengacara publik dari LBH Bandung yang turut memantau kerja bakti tersebut juga di usir dari rentuhan. Sambil mengusir, beberapa warga dan pekerja kontraktor menantang keduanya untuk berkelahi. Sementara Deti, paralegal PBHI, harus di larikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis akibat luka pukulan di kepalanya.

Segala kekisruhan dan kerusakan-kerusakan tersebut bersumber dari sebuah proyek bernilai 113,9 Milyar. Sebuah angka yang kecil jika dibandingkan dengan ongkos sosial dan kerusakan yang timbul akibat pembangunan proyek yang berujung pada penggusuran di sertai kekerasan.

Parade kekerasan yang di arak sejak 2017 terus menerus disaksikan oleh warga Tamansari. Kekerasan menjadi elemen yang tidak terpisahkan dari proses penggusuran. Kematian akal sehat dengan tidak adanya sanksi pada pelaku kekerasan juga semakin menguatkan budaya impunitas.

Ketika masalah penggusuran dan kekerasan di Tamansari belum menemukan ujungnya, kita malah disuguhi lagi adegan baru penggusuran dengan kekerasan: penggusuran di Pancaron Buntu, Jakarta Selatan. Layaknya panggilan bergilir, kampung kota di Indonesia yang menjadi target penggusuran harus selalu waspada dan menebalkan kulit karena kekerasan selalu bersiap datang, kapan pun dia mau.***

Catatan

[1] Selengkapnya di http://www.lbhbandung.or.id/laporan-hasil-survey/