Preloader
  • 082120171321
  • Jl. Kalijati Indah Barat No. 8, Antapani Bandung 40291
  • Senin-Kamis: 10.00-15.00 WIB

Pers Rilis: Massa Dipukuli, Suara Dibatasi: Catatan Kelam Penolakan RUU TNI di Jawa Barat

Disahkannya Rancangan Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menimbulkan gejolak penolakan di berbagai daerah. Rentetan aksi penolakan terjadi sebagai bentuk kemarahan masyarakat sipil atas hadirnya undang-undang yang berpotensi memperluas peran-peran militer di ranah sipil, yang mana hal tersebut bertentangan dengan amanat reformasi.

Kemarahan disebabkan karena ditutupnya akses masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan undang-undang. Hal tersebut terlihat dari begitu buru-burunya DPR RI dalam melakukan pembahasan. Partisipasi bermakna dengan sangat jelas dihinakan dengan dilakukannya rapat tertutup oleh Komisi I DPR RI di Hotel Fairmont, Jakarta. Rapat-rapat tertutup tersebut disertai dengan penjagaan ketat oleh  TNI. Terlebih, draft rancangan undang-undang yang resmi pun begitu sulit untuk diakses hingga saat ini.

Atas hal-hal tersebut, gelombang aksi penolakan terus terjadi di berbagai tempat. Termasuk beberapa daerah di Jawa Barat, banyak aksi penolakan UU TNI yang diinisiasi oleh masyarakat sipil maupun mahasiswa berubah menjadi catatan kelam pelanggaran HAM, di mana aparat keamanan melakukan tindakan represif yang tidak proporsional terhadap massa aksi.  

LBH Bandung mencatat, aksi penolakan terjadi di berbagai wilayah Jawa Barat. Di Kota Bandung misalnya, berbagai elemen masyarakat sipil melakukan aksi penolakan pada dua hari berturut turut, yakni pada 20 dan 21 Maret 2025. Namun, represifitas aparat kepolisian dan TNI masih terjadi, aparat yang tidak mengenakan seragam hingga Ormas pun dikerahkan untuk turut serta merepresi massa aksi. Tindakan represifitas tersebut membuat sekitar 25 massa aksi mengalami luka-luka. Selain represifitas fisik, kanal hotline LBH Bandung pun mengalami upaya peretasan, seperti percobaan pendaftaran pada berbagai aplikasi pinjaman online dan aplikasi berlangganan hingga spam chat. 

Lebih dari itu, terjadi tindakan salah tangkap oleh kepolisian terhadap empat anak sekolah di bawah umur yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Saat penangkapan, anak-anak tersebut dianiaya oleh aparat berupa dipukuli di seluruh badan termasuk menyasar bagian kepala, digigit, hingga ditelanjangi. Selain itu, terjadi perampasan barang berupa laptop dan telepon selulernya yang hingga saat ini masih belum dikembalikan oleh kepolisian.

Kemudian pada Senin, 24 Maret 2025, aksi penolakan juga terjadi di Tasikmalaya, Majalengka, Kuningan, Sukabumi dan Cirebon. Namun di Sukabumi dan Cirebon, represifitas aparat dihadapi oleh massa aksi. Di Sukabumi, terdapat beberapa massa aksi yang harus dilarikan ke rumah sakit akibat dari brutalitas aparat kepolisian dan TNI dalam membubarkan paksa. Bahkan, terdapat massa aksi yang mengalami luka berat berupa patah tulang hidung hingga tidak sadarkan diri dan perlu dioperasi. Adapun di Cirebon, terdapat belasan massa aksi yang ditangkap serta massa aksi lainnya yang dianiaya oleh aparat.

Lebih dari represifitas, pada Selasa, 25 Maret 2025, massa aksi di Karawang ditangkap oleh kepolisian dengan cara yang tidak manusiawi. Ambulans yang membawa lima mahasiswi serta dua petugas medis untuk dilarikan ke rumah sakit malah dipaksa oleh pihak kepolisian untuk mengubah rutenya ke Polres Karawang. Saat itu, polisi memaksa pihak medis dengan intimidasi yang disertai ancaman.

LBH Bandung menilai pengesahan Revisi UU TNI mengandung bahaya sistematis melalui perluasan kewenangan militer dalam ranah sipil yang berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. RUU ini membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi TNI melalui pasal-pasal ambigu yang memungkinkan interpretasi luas terhadap peran militer dalam urusan domestik, mengancam fondasi demokrasi Indonesia pasca-Reformasi 1998. Pelebaran mandat TNI ke bidang non-pertahanan dalam RUU ini menciptakan kerangka hukum yang melegitimasi intervensi militer dalam urusan sipil, suatu langkah mundur yang bertentangan dengan prinsip supremasi sipil sebagai pilar negara demokratis, hal ini dapat dilihat dari revisi pada Pasal 7 dan Pasal 43.

Mekanisme pengawasan yang lemah dalam RUU ini berpotensi menciptakan ruang impunitas bagi pelanggaran HAM oleh aktor militer, sekaligus memperlemah akuntabilitas sipil atas institusi militer. Pada Pasal 7 ayat (4). Lemahnya pengaturan tentang akuntabilitas dan transparansi dalam operasi militer selain perang (OMSP) semakin memperparah masalah, karena berpotensi menjadikan TNI sebagai aktor dominan di luar mekanisme checks and balances yang berlaku bagi institusi sipil.

Praktik di lapangan menunjukkan bahwa perluasan peran TNI tanpa mekanisme checks and balances yang memadai telah dan akan terus memicu eskalasi kekerasan negara terhadap masyarakat sipil, sebagaimana terlihat dalam penanganan aksi protes di berbagai daerah dan pelibatan TNI di berbagai konflik negara vs Masyarakat, contohnya konflik di Rempang dan proyek food estate di Merauke, di Jawa Barat sendiri sudah terjadi praktik-praktik pelibatan TNI di ranah non-pertahanan bahkan secara terang-terangan Pemprov JABAR bekerjasama dengan TNI AD di ranah non pertahanan. Secara konstitusional, RUU ini bermasalah karena bertentangan dengan semangat Pasal 30 Ayat 3 UUD 1945 yang membatasi peran TNI pada fungsi pertahanan, serta prinsip negara hukum yang menjamin supremasi kekuasaan sipil.

Selain itu, serangkaian potret brutalitas aparat dalam membubarkan massa aksi menunjukkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang serius. Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat merupakan hal fundamental dalam HAM, sebagaimana telah dijamin pemenuhannya dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum, maupun dalam serangkaian instrumen hukum HAM internasional dan nasional lainnya. Praktik pembubaran massa yang dilakukan secara represif merupakan bentuk pembatasan hak masyarakat sipil secara semena-mena. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik maupun Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Konvensi Anti Penyiksaan mengatur dengan tegas bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Fakta diatas menunjukkan bahwa represi bukan sekadar ekses lapangan, tetapi mencerminkan masalah sistemik dalam hubungan sipil-militer di Indonesia.

Penggunaan gas air mata, pentungan rotan, dan penangkapan sewenang-wenang terhadap massa aksi termasuk mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil lainnya menunjukkan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, khususnya hak untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat yang dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945 dan instrumen HAM internasional seperti Kovenan ICCPR. Yang lebih memprihatinkan, tindakan represif ini tidak hanya terjadi sebagai ekses spontan, tetapi tampak terstruktur, dengan pola serupa di Bandung, Cirebon, dan Sukabumi pembubaran paksa, kekerasan fisik, dan upaya penghapusan bukti melalui intimidasi. Di balik tindakan represif ini, terdapat masalah struktural yang lebih dalam doktrin keamanan nasional yang masih bernapas militeristik dan belum sepenuhnya beradaptasi dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM pasca-Reformasi. Aparat keamanan, alih-alih berperan sebagai pelindung hak konstitusional warga, justru beroperasi dengan logika “stabilitas keamanan” yang mengedepankan pendekatan represif. Lemahnya mekanisme pengawasan internal di tubuh aparat dan ketiadaan sanksi tegas terhadap pelaku kekerasan semakin memperparah situasi, menciptakan lingkaran impunitas yang memungkinkan pelanggaran serupa terulang.

Kemudian, dampak dari represi ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis dan politis. Di tingkat individu, korban kekerasan aparat mengalami trauma dan ketakutan untuk kembali menyuarakan pendapat. Di tingkat kolektif, masyarakat sipil kehilangan kepercayaan terhadap negara sebagai penjamin hak-hak dasar. Yang lebih berbahaya, represi yang terjadi di Jawa Barat bukanlah kasus terisolasi, melainkan bagian dari pola nasional yang mengancam ruang demokrasi. Oleh karena itu, LBH Bandung menyatakan sikap berikut:

  1. Mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk mencabut Revisi UU TNI yang telah disahkan pada sidang Paripurna.
  2. Segera hentikan praktek-praktek legislasi yang gelap dalam segala pembahasan RUU apapun, kami mendesak seluruh proses dilakukan secara transparan dan terbuka, dengan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat.
  3. Pertegas batas kewenangan TNI hanya pada bidang pertahanan negara, sesuai mandat konstitusi dan prinsip supremasi sipil.
  4. Reformasi doktrin dan pelatihan aparat tentang penanganan aksi yang berperspektif HAM.
  5. Mendesak Kapolri untuk mempertanggungjawabkan kebijakan represif yang sistematis dan meluas tersebut dan segera mengeluarkan kebijakan jelas yang melarang penggunaan kekerasan dalam pembubaran Aksi.