Hubungan Industrial Pancasila: Sebuah Konsep Penundukan Kelas Pekerja?
Melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 76 Tahun 2024, dipertunjukkan kembali
sebuah konsep problematik dalam dunia perburuhan: Hubungan Industrial Pancasila (HIP).
Sekilas, tidak ada yang masalah dalam konsep ini. Namun, jika ditelisik melalui
kesejarahannya, konsep HIP melatarbelakangi bagaimana Pancasila dijadikan sebagai alat
penundukan kelas pekerja. Akankah “HIP baru” ini menyerupai bentuk asalnya?
Pancasila dan Politik Penyingkiran
“…Pancasila dapat kita hindarkan dari penafsiran kita masing-masing, yang
mungkin berbeda-beda. Sebab, penafsiran dan penjabaran Pancasila yang berbeda-
beda sama saja dengan mengaburkan arti dari Pancasila.”[1]
Tulisan ini mesti diawali dengan pembahasan atas Pancasila itu sendiri, khususnya dalam
konteks politik penyingkiran. Sekira tahun 2019, sempat ramai beredar sebuah jargon “Aku
Pancasila”, atau “Saya Pancasila, Saya Indonesia”. Jargon tersebut, ungkap Rocky Gerung,
merupakan suatu politik penyingkiran. Konteksnya yakni, penyingkiran bagi mereka yang
oposan atau kontra terhadap pemerintah, yang mana dicap tidak Pancasilais. [2]
Politik penyingkiran tersebut kiranya sudah dipelihara sejak era Orde Baru, era di mana
Pancasila dijadikan sebagai Asas Tunggal. Konsepsi Asas Tunggal Pancasila ini memaksa
tiap-tiap warga negara untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan filosofis dalam segala
aspek kehidupan, termasuk dalam hal berorganisasi. Permasalahan sesungguhnya tidaklah
terletak pada Pancasila sebagai asas, namun pada pemahaman tunggal atas Pancasila yang
dipromosikan secara otoriter oleh negara. Perbedaan pandangan terhadap pemerintah
kemudian dengan mudahnya dicap sebagai “anti-Pancasila”.
Praktik tersebut mengasumsikan bahwa bangsa Indonesia belumlah memahami Pancasila,
dan pemerintah Orde Baru adalah ahlinya. Hal tersebut terimplementasi dalam Program
penataran Pancasila yang diwajibkan di berbagai sektor pegawai dan mahasiswa. [3]
Indoktrinasi Pancasila dalam versi tunggal pemerintah inilah yang menjadikan Pancasila
sebagai momok yang menakutkan—setidaknya dalam bahasa ideologis.
Hubungan Industrial Pancasila
Hubungan Industrial Pancasila (HIP) bukanlah barang baru. Konsepsi ini diperkenalkan oleh
Jenderal Ali Moertopo pada 1974 dengan istilah Hubungan Perburuhan Pancasila, dan
dilembagakan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.645/M/1985. Pada
pokoknya, konsep HIP menekankan bahwa hubungan antara buruh, pengusaha, serta
pemerintah harus terjalin secara harmonis, dinamis, berkeadilan dan menjamin kelangsungan
berusaha. Hal tersebut memaksa hubungan industrial terjalin secara kekeluargaan, yakni
membentuk relasi “ayah dan anak” antara negara dengan warganya, yang mana menempatkan
negara sebagai “ayah yang bijak”. [4]
Penerapan HIP dimulai oleh Menteri Tenaga Kerja Laksamana Sudomo di awal 1980. Secara
praktis, HIP memungkinkan kontrol industri yang ketat dan keterlibatan militer dalam
perselisihan perburuhan, berdasarkan pada gagasan ‘keamanan industri’ dan subordinasi
pekerja terhadap kebijakan negara. [5] HIP pun dianggap sebagai suatu upaya kooptasi atas
ideologi negara dalam hal menciptakan norma anti-mogok dalam hubungan industrial di
Indonesia, yang mana membawa seluruh beban militer dan pemerintah untuk menanggung
perselisihan industrial di tempat kerja mana pun. [6] Secara lebih spesifik, konsepsi HIP pun
berperan dalam lahirnya berbagai kebijakan yang merugikan buruh. Seperti Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/1986 yang memberikan izin kepada majikan untuk
merumahkan buruh sewaktu-waktu tanpa menunggu keputusan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (P4). [7]
Selain itu, dengan konsep kekeluargaan, HIP mendoktrinasi agar mekanisme penyelesaian
sengketa perburuhan—baik itu bipartit, tripartit, atau cara lainnya—dalam rangka
menegosiasikan kepentingan buruh dan modal harus didukung oleh ‘asas kekeluargaan’ dan
nilai-nilai ‘tradisional’ yaitu ‘gotong royong’ dan ‘musyawarah untuk mufakat’. [8] Hal ini
berdampak pada lemahnya posisi tawar buruh dalam memperoleh hak-haknya, mengingat
pihak perusahaan memiliki kuasa yang lebih besar sehingga dapat melakukan segala cara
untuk menghindar dari kewajibannya.
Serangkaian hal tersebut membuat gerakan buruh di masa Orde Baru mengalami kemunduran
yang pesat. Di masa ini, kebijakan terhadap kelas pekerja nampaknya didesain dengan
sistematis dan represif dengan dalih kemajuan pembangunan. Bukan hanya upah yang rendah
dan jam kerja yang panjang, akan tetapi kebebasan berserikat kaum buruh juga ditiadakan.
Bahkan, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dijadikan sebagai satu-satunya serikat
buruh yang resmi dan diakui pemerintah pada waktu itu. Selain SPSI, maka serikat buruh
tersebut dianggap sebagai serikat buruh ilegal. [9] Kemunduran serta tekanan terhadap gerakan
buruh tersebut memperlihatkan bagaimana HIP dijadikan sebagai alat untuk “menertibkan”
buruh, yang mana berkonsekuensi pada timpangnya kuasa pengusaha terhadap buruhnya.
Antitesis Orde Lama
Konsepsi HIP merupakan antitesis daripada konsep perburuhan yang dikenal pada era Orde
Lama, era di mana gerakan buruh sedang menggapai puncaknya. Dimulai sejak era
Demokrasi Parlementer (1949), serikat buruh di Indonesia memperoleh perkembangan yang
pesat. Hingga pertengahan tahun 1950-an, gerakan serikat buruh menjadi signifikan, yakni
dengan perkiraan anggota berjumlah sekitar 2 juta orang di 13 federasi berbeda, terutama di
sektor ketenagakerjaan formal. [10] Gerakan serikat buruh tersebut didominasi oleh Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), organisasi underbouw Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Kuatnya gerakan buruh di masa ini selaras dengan pesatnya perkembangan PKI. Namun,
berkembangnya PKI serta organisasi-organisasi underbouw-nya menimbulkan sentimen
tersendiri terhadap gerakan buruh, termasuk pemerintahan Orde Lama secara umumnya.
Pasca tragedi 1965-1966, gerakan buruh di Indonesia mulai mengalami kemunduran. Hal
tersebut diawali dengan peristiwa pembantaian secara kejam terhadap anggota PKI serta
orang-orang yang dianggap berafiliasi dengannya tanpa melalui proses peradilan oleh
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan kelompok-kelompok diorganisirnya.
Begitupun gerakan buruh, sebuah gerakan yang distigma sebagai gerakan kiri yang identik
dengan komunisme, sehingga segala hal yang berkaitan dengan gerakan buruh di era
sebelumnya dianggap sebagai tindakan subversif dan sah untuk dilarang.
Neo-Hubungan Industrial Pancasila
“Untuk menciptakan Hubungan Industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan
di perusahaan diperlukan pedoman pelaksanaan Hubungan Industrial yang
berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.”
Seperti telah di sebutkan di awal, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri
Ketenagakerjaan Nomor 76 Tahun 2024 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial
Pancasila (Kepmenaker 76). Ditetapkan pada 28 Maret 2024, Kepmenaker ini mencabut
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.645/M/1985, sebuah dasar hukum berlakunya
HIP di era Orde Baru, karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi perkembangan
hubungan industrial. Secara filosofis, penerbitan Kepmenaker 76 ini ditujukan untuk
menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan menjamin
kelangsungan berusaha di perusahaan serta mendukung terlaksananya hubungan industrial
berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Secara maksud, Kepmenaker 76 ini hendak mewujudkan hubungan kerja yang harmonis
antara pengusaha, buruh, dan pemerintah di perusahaan dengan berdasarkan nilai-nilai
Pancasila. Maksud tersebut kemudian dilaksanakan melalui serangkaian prinsip, asas, sarana
HIP, hingga tata cara penerapan HIP dalam hubungan kerja yang secara rinci tertulis dalam
Lampiran Kepmenaker 76.
Komentar terhadap Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 76 Tahun 2024
Penulis tentu tidak akan mengomentari segala hal yang ada dalam Kepmenaker 76, yang
mana terlalu rinci dan bertele-tele, namun hanya pada beberapa hal fundamentalnya saja.
Komentar tersebut terurai dalam bagian-bagian sebagai berikut:
Pertama, Sentimen terhadap Orde Lama dan Pro Orde Baru. Dalam Bab II Lampiran
Kepmenaker 76, narasi atas sejarah hubungan industrial di Indonesia di era Orde Lama
tertulis dengan irama yang berbau sentimen. Bagaimana tidak, secara tegas tertulis bahwa:
“Pada masa Orde Lama, Hubungan Industrial di Indonesia diwarnai dengan banyak
gejolak khususnya sejak diberlakukannya Dekrit Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 5 Juli 1959 yang menandai berlakunya Demokrasi Terpimpin yang
menyebabkan timbulnya Hubungan Industrial yang antagonis dan konfrontatif
yang disebabkan oleh makin tegaknya Hubungan Industrial berdasarkan
marxisme yang merupakan salah satu faktor runtuhnya Orde Lama pada Tahun
1966.”
Sikap sentimen ini kiranya serupa dengan narasi Orde Baru terhadap gerakan buruh
sebagaimana telah penulis uraikan di atas.
Berbanding terbalik, dalam uraian sejarah periode Orde Baru (1966-1998), tertulis
serangkaian narasi yang indah bahwa seolah-olah pemerintah Soeharto berhasil menciptakan
hubungan industrial yang melaksanakan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 dengan murni dan konsekuen. Uraian berlanjut mengenai bagaimana
pemerintahan Orde Baru berhasil melakukan restrukturisasi terhadap organ-organ perburuhan
serta pengembangan sistem perburuhan yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Terlebih,
diuraikan pula bagaimana peran Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) melalui Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasilanya dalam pengembangan HIP.
Secara keseluruhan, Kepmenaker 76 hanya menarasikan bagaimana Orde Lama merupakan
contoh buruk atas hubungan industrial, sehingga diperbaiki dengan Hubungan Industrial
Pancasila ala Orde Baru. Narasi seperti ini kiranya makin memperlihatkan bagaimana
pemerintah berusaha untuk mengaburkan sejarah. Dalam uraiannya, tidak tertulis sama sekali
bagaimana praktik-praktik otoritarianisme Orde Baru terhadap dunia perburuhan, seperti
pembatasan hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Tidak diceritakan
sama sekali bagaimana intervensi militer dalam dunia perburuhan, termasuk pelanggaran
berat HAM yang terjadi di dalamnya.
Kedua, Berpotensi Menimbulkan Politik Penyingkiran. Seperti telah penulis uraikan di
atas, Pancasila kerap dijadikan sebagai alat politik penyingkiran, yakni alat untuk mengotak-
kotakkan. Dalam konteks HIP, tidak menutup kemungkinan politik penyingkiran yang serupa
dapat terjadi. Dengan dirincikannya hal-hal yang merepresentasikan Hubungan Industrial
Pancasila, berpotensi menimbulkan cap “buruh anti-Pancasila” bagi mereka yang tidak
melaksanakan ketentuan HIP dalam Kepmenaker 76. Hal ini tentu berbahaya, karena narasi
Pancasila dan “anti-Pancasila” berpotensi muncul dan dapat menimbulkan perpecahan secara
horizontal, khususnya di kalangan buruh itu sendiri. Narasi semacam ini dengan mudahnya
dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkuasa untuk melemahkan gerakan buruh.
Ketiga, Ketimpangan Narasi antara Buruh dan Pengusaha. Sebagaimana telah
disebutkan, HIP menekankan bagaimana hubungan industrial yang ideal, yakni harmonisnya
relasi antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Akan tetapi, narasi “manis” tersebut perlu
dibaca secara kritis. Setidaknya dalam Kepmenaker 76, penulis hendak memulainya dari
asas-asas yang tercantum.
Diawali dengan Asas Kesetaraan dan Solidaritas, sebuah asas yang menurut pemerintah
diperlukan dalam hal mewujudkan kesejahteraan buruh dalam mendukung pembangunan
dunia usaha serta menerapkan keadilan dengan hasil yang dicapai dapat dirasakan bersama di
Perusahaan. Adapun dalam konteks solidaritas, dimaknai solidaritas dengan bentuknya
seperti ikut menjaga marwah perusahaan ketika ada pihak lain yang menyudutkan nama
perusahaan, dan ikut aktif bersama perusahaan dalam mempromosikan produksi barang dan
jasa yang dihasilkan perusahaan. Sungguh hal yang lucu, membicarakan solidaritas kepada
buruh tanpa menyinggung betapa pentingnya serikat buruh di dalamnya. Alih-alih demikian,
buruh justru diminta untuk menjadi kaki tangan perusahaan.
Selanjutnya, terdapat Asas Soliditas, sebuah asas yang dimaknai sebagai pengedepanan upaya
dari buruh dan pengusaha dalam menjaga keutuhan bersama dalam menghadapi tantangan
yang ada, dengan mengedepankan saling pengertian atau saling memahami dan ikut
merasakan apa yang sedang dihadapi perusahaan. Dicontohkan oleh pemerintah, bahwa
implementasi dari asas soliditas yakni dengan ikut berempati dan menjaga keutuhan
perusahaan ketika dihadapkan pada situasi penjualan yang kurang maksimal, pandemi,
bencana alam, dan keadaan kahar/darurat. Sungguh sebuah narasi yang naif, bahwa
menurunnya pendapatan perusahaan kerap menjadi alasan PHK massal dengan pembayaran
uang pesangon yang kecil akibat berlakunya Undang-undang Cipta Kerja. Bahkan,
perusahaan kerap tidak membayarkan sama sekali pesangon maupun hak-hak lainnya.
Akhirul Kalam
Merujuk pada serangkaian hal di atas, kiranya keberadaan Neo-HIP melalui Keputusan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 76 Tahun 2024 perlu menjadi perhatian bersama. Apakah
HIP merupakan upaya penundukan kelas pekerja?
Pelemahan gerakan buruh melalui narasi Pancasila di Orde Baru telah cukup mencederai
segala perlindungan, penghormatan, serta pemenuhan hak asasi manusia para buruh. Dengan
latar belakang yang kelam tersebut, jangan sampai narasi manis melalui HIP ini justru
kembali melemahkan kembali gerakan buruh yang sudah mulai memperoleh kembali
kekuatannya.
Catatan:
[1] Sambutan Presiden Soeharto pada Pembukaan Musyawarah Kerja Kwartir Nasional Gerakan Pramuka tanggal
12 April 1976 di Istana Negara.
[2] Rocky Gerung, PANCASILA: IDE PENUNTUN, BUKAN PENGATUR, dalam PRISMA: Membongkar Dan
Merangkai Pancasila, LP3ES, 2018.
[3] Ariel Heryanto, Pancasila Sejak Orde Baru, Kompas.id, 2021,
https://www.kompas.id/baca/opini/2021/11/06/pancasila-sejak-orde-baru.
[4] Surya Tjandra, Labour Law and Development in Indonesia, Leiden University, 2016, hal. 63.
[5] Ibid., hal. 64.
[6] Colin Fenwick, Tim Lindsey, dan Luke Arnold, Labour Disputes Settlement Reform in Indonesia: A Guide to
the Policy and Legal issues Raised by Insudtrial Labour Dispute Settlement Bill, International Labour Office,
Jakarta, 2002, hal. 18.
[7] Marsinah dan Nasib Buruh di Era Orde Baru – Menolak Lupa, KORAN SULINDO, 2022,
https://koransulindo.com/marsinah-dan-nasib-buruh-di-era-orde-baru-menolak-lupa/.
[8] Surya Tjandra, Op. Cit., hal. 64.
[9] Op. Cit.
[10] Surya Tjandra, Op. Cit., hal. 43.